Minggu, 15 November 2015

Situasi ''Kritis'' Dihadapi Para Uskup yang Berkarya di KAS

Tulisan ini sebenarnya bagian kedua tulisan yang disarikan rekan saya mas Dhoni Zustiyantoro pada seri 1 yang termuat di Harian Suara Merdeka pada hari Sabtu (14/11)... Semoga memberikan sedikit informasi mengenai karya para uskup di Keuskupan Agung Semarang..
Mudah-mudahan setelah Monsinyur Pujasumarta wafat, umat Katolik bisa segera mendapatkan seorang Gembala barunya. Terimakasih untuk Romo Aloys Budi Purnomo Pr yang sudah mereferensikan bukunya berjudul <I>Menyusuri Sisi lain Sejarah Kebun Anggur Tuhan KAS<P> (2012).
Recommended buat dibaca yah bukunya :) :)
--------------------------------
Karya Penggembalaan yang Penuh Tantangan

Perjalanan para uskup yang memimpin di Keuskupan Agung Semarang (KAS) bukan tanpa tantangan. Bahkan ada beberapa masa dimana tahapan itu diselimuti situasi yang ''kritis''.
Mendiang monsinyur Johannes Pujasumarta yang Jumat (13/11) kemarin dimakamkan di kompleks Seminari Tinggi St Paulus Kentungan Yogyakarta merupakan uskup kelima yang ditahbiskan menjadi Uskup Agung Semarang.

<B>GAMBARAN<P> situasi kritis ini bisa dilihat sejak awal penggembalaan Uskup pertama Mgr Albertus Soegijapranata SJ yang ditahbiskan pada 6 November 1940. Uskup pribumi pertama itu melewati masa Perang Dunia II, Perang Jepang dan juga Perang Kemerdekaan. Situasi perang itu juga sempat memicu kepindahan pusat Keuskupan dari Semarang ke Yogyakarta dengan alasan membangun solidaritas dan semangat nasionalisme di masa perang kemerdekaan. Presiden Soekarno saat itu juga memindahkan ibukota Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta.

Meski sudah menjabat uskup namun tak ada tempat tinggal khusus karena sebelumnya hanya tinggal di Pastoran Gedangan. Rencana untuk membangunnya pun sebenarnya sudah ada namun terganjal situasi perang dimana dana dipakai untuk kepentingan yang lebih mendesak atau darurat kemanusiaan. Dan di Jalan Pandanaran 13 itulah rumah baru uskup ditempati. 

Romo Aloys Budi Purnomo Pr dalam bukunya <I>Menyusuri Sisi lain Sejarah Kebun Anggur Tuhan KAS<P> (2012) menyebutkan, ''istana'' atau dalam bahasa Jawa disebut Kanjengan karena Bapak Uskup sering dipanggil dalam bahasa Jawa ''Rama Kanjeng'' itu akhirnya bisa terealisasi pada 20 Mei 1960.

Atas keputusan Bapa Suci Paus Johannes XXIII pada 3 Januari 1961, terjadi perubahan dari Vikariat Apostolik Semarang menjadi Keuskupan Agung Semarang yang termuat dalam Konstitusi Apostolik Quod Christus Adorandus. Mgr Soegijapranata pun meninggal pada 22 Juli di Belanda dan atas permintaan Presiden Soekarno jenasah dibawa pulang ke Indonesia. Atas jasa-jasanya, presiden juga menetapkan monsinyur sebagai Pahlawan Nasional dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Giri Tunggal Semarang.

Situasi kritis lainnya juga dihadapi uskup kedua yakni Romo Justinus Darmojuwono Pr yang ditahbiskan pada 6 April 1964 oleh Uskup Agung Mgr Ottavio De Liva, Duta Besar Vatikan untuk Indonesia. Kondisi sosial politik kebangsaan Indonesia akibat Gerakan 30 September 1965 berujung pada pembantaian orang-orang yang dicap PKI. Mgr Darmojuwono pun memilih lambang Pie Pelicane atau Burung Pelikan yang Baik merepresentasikan pengorbanan Yesus Kristus bagi umatnya. Lambang ini juga tertera pada tongkat uskup

Selanjutnya Paus Paulus VI mengangkat Mgr Darmojuwono sebagai Kardinal Pertama di Indonesia pada 26 Juni 1967. Dan sejak itulah beliau dipanggil Justinus Kardinal Darmojuwono Pr. Saat itu jumlah umat Katolik di KAS mencapai 250.000 tersebar di 54 paroki se-KAS. Di usia 66 tahun, romo kardinal mengundurkan diri dari jabatan pelayanannya sebagai Uskup Agung Semarang pada 3 Juli 1981. 

Setelah itu, Mgr Julius Riyadi Darmaatmadja SJ ditahbiskan sebagai uskup ketiga pada 29 Juni 1983. Beliau juga diangkat sebagai Kardinal kedua sehingga dipanggil dengan sebutan Julius Riyadi Kardinal Darmaatmadja SJ. Romo Kardinal ini pun ditunjuk Paus Johannes Paulus II sebagai Uskup Agung Jakarta pada 11 Januari 1996 sehingga harus berpindah ke ibukota. Saat itu gejolak rezim Orde Baru dimana banyak ketidakadilan serta tindakan represif khususnya terhadap lawan politik orba di masa itu.

Gembala yang menggantikan beliau sebagai uskup keempat adalah Rm Ignatius Suharjo Hardjoatmodjo yang ditunjuk menjadi Uskup Agung Semarang pada 21 April 1997. Lahir di Sedayu Bantul, monsiyur Suharyo sejak kanak-kanak sudah terbiasa menjadi gembala kambing dan itik namun pada saat itu akhirnya menjadi Gembala Umat di KAS. Dengan motto Aku Melayani Tuhan dengan segala kerendahan hati, monsiyur Suharyo menempatkan kerendahan hati melalui pelayanan yang partisipatif dan siap melayani siapapun.

Di dalam penggembalaan Romo Ignatius Suharyo, gerakan Reformasi membuat situasi juga memanas dan kondisi sosial masyarakat yang kacau. Musibah gempa bumi di Yogyakarta dan Klaten dengan korban jiwa serta harta benda juga menjadi tantangan yang tidak mudah.

Selanjutnya uskup kelima yang memimpin KAS adalah Mgr Johannes Maria Pujasumarta. Romo Puja sebenarnya adalah ''wajah lama'' karena sebelumnya pernah bertugas sebagai Vikaris Jenderal KAS periode 1 Agustus 1998 hingga 10 Juli 2008 serta banyak terlibat dalam karya pastoral di KAS. Doktor di bidang Spiritualitas lulusan Universitas St Thomas Aquinas Roma pada 1987 itu lalu ditahbiskan sebagai Uskup Bandung baru pada 7 Januari 2011 Romo Puja disambut sebagai uskup baru dan upacara pelantikannya dilangsungkan di Gereja Katedral St Perawan Maria Ratu Rosario Suci Semarang.

Saat itu, beliau dihadapkan dengan erupsi Gunung Merapi yang dasyat dan menghancurkan sejumlah wilayah di KAS serta peristiwa kekerasan di Temanggung dimana terjadi perusakan gereja St Petrus- Paulus di Temanggung Jateng. 

Meski harus menghadapi kondisi-kondisi yang kritis dalam berbagai aspek sosial kemasyarakatan, namun Gereja Katolik tetap hadir sebagai berkat bagi umat dan memupuk solidaritas serta semangat berbelarasa. (Modesta Fiska- )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar