Tulisan ini sebenarnya bagian kedua tulisan yang disarikan rekan saya mas Dhoni
Zustiyantoro pada seri 1 yang termuat di Harian Suara Merdeka pada hari Sabtu (14/11)... Semoga memberikan sedikit informasi mengenai karya para uskup di Keuskupan Agung Semarang..
Mudah-mudahan setelah Monsinyur Pujasumarta wafat, umat Katolik bisa segera mendapatkan seorang Gembala barunya. Terimakasih untuk Romo Aloys Budi Purnomo Pr yang sudah mereferensikan bukunya berjudul <I>Menyusuri Sisi lain
Sejarah Kebun Anggur Tuhan KAS<P> (2012).
Recommended buat dibaca yah bukunya :) :)
--------------------------------
Karya Penggembalaan yang Penuh Tantangan
Perjalanan para uskup
yang memimpin di Keuskupan Agung Semarang (KAS) bukan tanpa tantangan.
Bahkan ada beberapa masa dimana tahapan itu diselimuti situasi yang
''kritis''.
Mendiang monsinyur Johannes Pujasumarta yang Jumat
(13/11) kemarin dimakamkan di kompleks Seminari Tinggi St Paulus
Kentungan Yogyakarta merupakan uskup kelima yang ditahbiskan menjadi Uskup Agung Semarang.
<B>GAMBARAN<P> situasi kritis ini bisa dilihat sejak awal penggembalaan Uskup pertama Mgr Albertus Soegijapranata SJ yang ditahbiskan pada 6 November 1940. Uskup
pribumi pertama itu melewati masa Perang Dunia II, Perang Jepang dan
juga Perang Kemerdekaan. Situasi perang itu juga sempat memicu
kepindahan pusat Keuskupan dari Semarang ke Yogyakarta dengan alasan
membangun solidaritas dan semangat nasionalisme di masa perang
kemerdekaan. Presiden Soekarno saat itu juga memindahkan ibukota
Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta.
Meski sudah menjabat uskup
namun tak ada tempat tinggal khusus karena sebelumnya hanya tinggal di
Pastoran Gedangan. Rencana untuk membangunnya pun sebenarnya sudah ada
namun terganjal situasi perang dimana dana dipakai untuk kepentingan
yang lebih mendesak atau darurat kemanusiaan. Dan di Jalan Pandanaran 13
itulah rumah baru uskup ditempati.
Romo
Aloys Budi Purnomo Pr dalam bukunya <I>Menyusuri Sisi lain
Sejarah Kebun Anggur Tuhan KAS<P> (2012) menyebutkan, ''istana''
atau dalam bahasa Jawa disebut Kanjengan karena Bapak Uskup sering dipanggil dalam bahasa Jawa ''Rama Kanjeng'' itu akhirnya bisa terealisasi pada 20 Mei 1960.
Atas
keputusan Bapa Suci Paus Johannes XXIII pada 3 Januari 1961, terjadi
perubahan dari Vikariat Apostolik Semarang menjadi Keuskupan Agung
Semarang yang termuat dalam Konstitusi Apostolik Quod Christus
Adorandus. Mgr Soegijapranata pun meninggal pada 22 Juli di Belanda dan
atas permintaan Presiden Soekarno jenasah dibawa pulang ke Indonesia.
Atas jasa-jasanya, presiden juga menetapkan monsinyur sebagai Pahlawan
Nasional dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Giri Tunggal
Semarang.
Situasi kritis lainnya juga dihadapi uskup kedua yakni Romo Justinus Darmojuwono Pr yang ditahbiskan pada 6 April 1964 oleh Uskup
Agung Mgr Ottavio De Liva, Duta Besar Vatikan untuk Indonesia. Kondisi
sosial politik kebangsaan Indonesia akibat Gerakan 30 September 1965
berujung pada pembantaian orang-orang yang dicap PKI. Mgr Darmojuwono
pun memilih lambang Pie Pelicane atau Burung Pelikan yang Baik
merepresentasikan pengorbanan Yesus Kristus bagi umatnya. Lambang ini
juga tertera pada tongkat uskup.
Selanjutnya
Paus Paulus VI mengangkat Mgr Darmojuwono sebagai Kardinal Pertama di
Indonesia pada 26 Juni 1967. Dan sejak itulah beliau dipanggil Justinus
Kardinal Darmojuwono Pr. Saat itu jumlah umat Katolik di KAS mencapai
250.000 tersebar di 54 paroki se-KAS. Di usia 66 tahun, romo kardinal
mengundurkan diri dari jabatan pelayanannya sebagai Uskup Agung Semarang pada 3 Juli 1981.
Setelah itu, Mgr Julius Riyadi Darmaatmadja SJ ditahbiskan sebagai uskup
ketiga pada 29 Juni 1983. Beliau juga diangkat sebagai Kardinal kedua
sehingga dipanggil dengan sebutan Julius Riyadi Kardinal Darmaatmadja
SJ. Romo Kardinal ini pun ditunjuk Paus Johannes Paulus II sebagai Uskup
Agung Jakarta pada 11 Januari 1996 sehingga harus berpindah ke ibukota.
Saat itu gejolak rezim Orde Baru dimana banyak ketidakadilan serta
tindakan represif khususnya terhadap lawan politik orba di masa itu.
Gembala yang menggantikan beliau sebagai uskup keempat adalah Rm Ignatius Suharjo Hardjoatmodjo yang ditunjuk menjadi Uskup
Agung Semarang pada 21 April 1997. Lahir di Sedayu Bantul, monsiyur
Suharyo sejak kanak-kanak sudah terbiasa menjadi gembala kambing dan
itik namun pada saat itu akhirnya menjadi Gembala Umat di KAS. Dengan
motto Aku Melayani Tuhan dengan segala kerendahan hati, monsiyur Suharyo
menempatkan kerendahan hati melalui pelayanan yang partisipatif dan
siap melayani siapapun.
Di dalam penggembalaan
Romo Ignatius Suharyo, gerakan Reformasi membuat situasi juga memanas
dan kondisi sosial masyarakat yang kacau. Musibah gempa bumi di
Yogyakarta dan Klaten dengan korban jiwa serta harta benda juga menjadi
tantangan yang tidak mudah.
Selanjutnya uskup
kelima yang memimpin KAS adalah Mgr Johannes Maria Pujasumarta. Romo
Puja sebenarnya adalah ''wajah lama'' karena sebelumnya pernah bertugas
sebagai Vikaris Jenderal KAS periode 1 Agustus 1998 hingga 10 Juli 2008
serta banyak terlibat dalam karya pastoral di KAS. Doktor di bidang
Spiritualitas lulusan Universitas St Thomas Aquinas Roma pada 1987 itu
lalu ditahbiskan sebagai Uskup Bandung baru pada 7 Januari 2011 Romo Puja disambut sebagai uskup baru dan upacara pelantikannya dilangsungkan di Gereja Katedral St Perawan Maria Ratu Rosario Suci Semarang.
Saat
itu, beliau dihadapkan dengan erupsi Gunung Merapi yang dasyat dan
menghancurkan sejumlah wilayah di KAS serta peristiwa kekerasan di
Temanggung dimana terjadi perusakan gereja St Petrus- Paulus di
Temanggung Jateng.
Meski harus menghadapi
kondisi-kondisi yang kritis dalam berbagai aspek sosial kemasyarakatan,
namun Gereja Katolik tetap hadir sebagai berkat bagi umat dan memupuk
solidaritas serta semangat berbelarasa. (Modesta Fiska- )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar