KESAN
seram dan tidak terawat bisa jadi muncul dalam benak kita saat melihat
sebuah rumah kuno yang berada di pertemuan ujung ruas Jalan Kyai Saleh
dan Jalan Veteran. Rumah milik keluarga Fletterman
di lahan seluas 3.602 m2 itu mungkin terlihat menyeramkan bagi sebagian
orang yang melintas.
Namun itu dulu karena sekarang aset yang berada di
Jalan Kyai Saleh 15 ini telah dihibahkan kepada Yayasan Mardi Waluyo
Semarang (YMWS) dan di bagian dalam secara bertahap telah direnovasi
karena struktur bangunan yang sempat sedikit turun. Proses renovasi pun
tak bisa sembarangan karena termasuk bangunan tua dan cagar budaya
sehingga perlu menggandeng arsitek khusus dalam pembenahannya.
Hibah
tanah dan bangunan sendiri disampaikan Max van der Sluys Veer dan
istrinya Elly Krisanti pada 23 Desember 2012 kepada pengurus yayasan
diantaranya Prof DR Dr Hariyono Soeyitno SpA(K) selaku pembina dan
istrinya, Kantiningsih lalu juga Ny Oerip Lestari sebagai pengawas
yayasan.
Keluarga Fletterman yakni Corry Fletterman
Smith adalah istri pejabat Belanda yang merupakan salah satu pendiri
YMWS dan banyak berjasa dalam kegiatan sosial serta terbentuknya yayasan
yang didirikan di zaman Belanda tahun 1914 dimana awalnya bernama
<I>Vereeniging tot Bevordering van de Inlandsche
Ziekenverpleeging<P>.
Setelah Corry Fletterman
meninggal, pekerjaan sosial dilanjutkan oleh putranya, Max dan seluruh
perhatiannya difokuskan untuk membangun yayasan. Saat Max meninggal, Oma
Elly (begitu kerap disebut) tinggal sendirian menempati rumah besar
dengan beberapa kamar yang luas itu. Kini penghuni terakhir yang
menempatinya, Oma Elly baru saja meninggal dunia sekitar dua bulan silam
dan dimakamkan di Mount Carmel Ungaran.
Hibah dilakukan atas pertimbangan menghormati jasa Corry Flettermen
yang sudah menyumbangkan pikiran, usaha dan dananya untuk perkembangan
yayasan. Selain itu juga melihat dedikasi Max van der Sluys Veer selaku
pengurus untuk mempertahankan yayasan yang sempat mengalami titik
kebangkrutan karena sejumlah asetnya dijual oleh pengurus lama.
Regenerasi pengurus yang kini sudah mulai berjalan baik sekaligus
diharapkan bisa jadi solusi untuk menghidupkan kembali suasana dan
melestarikan rumah tua peninggalan jaman Belanda itu.
Prof
Hariyono yang ditemui di sela kegiatan sosial YMWS mengungkapkan,
revitalisasi yayasan terus dilakukan setelah pasang surut yang terjadi
dalam kepengurusan. Saat itu Rumah Bersalin Mardi Waluyo pun
ditingkatkan namanya menjadi Rumah Sakit Ibu dan Anak Mardi Waluyo
(RSIA) yang jaya di era 1960-1980an. Sebagai pemilik RSIA sebenarnya
yayasan berhak memeroleh keuntungan finansial dari unit kegiatan yang
berada di bawah naungannya.
Tapi sekitar tahun
1987-2003 situasinya kurang kondusif dan setelah itu dibentuklah
kepengurusan baru. Pada 23 Oktober 2003, pengurus yayasan baru
bekerjasama dengan Hermina Group dalam hal ini PT Medika Loka Utama
Jakarta. Lalu pada 18 Desember 2003, penandatanganan kerjasama
operasional antara Medika Loka Utama dan RSIA Mardi Waluyo serta notaris
dilakukan. Bangunan di Jalan Pandanaran 24 diserahkan kepada Medika
Loka Utama untuk dibangun dan dikelola dengan nama RS Hermina
Pandanaran.
''Yayasan mendapatkan 30% bersih
dari sisa hasil usaha rumah sakit dan ini dipakai untuk kegiatan sosial,
semua dipertanggungjawabkan dengan transparan ada audit akuntan publik
dan kami pun juga membayar pajak,'' papar guru besar Undip yang berusia
84 tahun itu.
Ke depan, yayasan ingin
mengoptimalkan misi sosialnya dengan berkegiatan di rumah tersebut dan
menggandeng sejumlah lembaga sosial. Pihaknya ingin
menitikberatkan
misi di bidang kesehatan dan pendidikan ibu dan anak karena tujuan
akhirnya bisa menurunkan angka kematian ibu bersalin juga angka kematian
bayi. ''Ke depan bisa jadi kita ada membuka klinik kecil. Dulu rumah
ini banyak disinggahi turis Belanda yang menginap. Ke depan bisa saja
dioptimalkan untuk homestay karena rumah ini sangat indah tunggu sampai
selesai direnovasi ya,'' ujarnya. (Modesta Fiska- www.suaramerdeka.com)
Klik my business