Rabu, 11 November 2015

Sugeng Tindak Romo Uskup

RIP Mgr Johannes Pujasumarta

Berjuang Melawan Kanker, Enggan Dirawat di Luar Negeri


Duka mendalam begitu dirasakan umat Katolik di Keuskupan Agung Semarang (KAS) atas kepergian Uskup Mgr Johannes Pujasumarta. Selama 1,5 tahun berjuang melawan kanker paru-paru yang dideritanya, romo Puja tak pernah mengeluh dan penuh totalitas dalam pelayanannya mewujudkan gereja papa miskin secara konkrit.

 

<B>KOMUNITAS<P> pelayanan sosial Garam Semarang bisa jadi salah satu inspirasi supaya umat Katolik khususnya kaum muda bisa ikut terlibat mendampingi anak-anak miskin kota. Gerakan yang digagas mantan Uskup Bandung yang sekitar tahun 1990-an masih berkarya sebagai rektor seminari ini bersama dengan para frater yang sedang menjalani Tahun Orientasi Rohani (TOR) di Wisma Sanjaya berkomitmen untuk melayani masyarakat ekonomi menengah ke bawah tanpa memandang agama.

Garam yang merupakan akronim dari garam dan ragi masyarakat yang terbentuk di tahun 1993 ini menjadi sarana menggugah kesadaran panggilan dan pelayanan sebagai umat gereja yang bisa membantu kaum miskin dan papa untuk meningkatkan kualitas hidupnya.

Semangat kesederhanaan dan pelayanan kepada mereka yang miskin ini begitu dihayati dalam kehidupan romo uskup yang meninggal di usianya yang ke-65 tahun itu akibat kanker paru-paru stadium empat. 

Banyak tawaran elit berobat ke luar negeri, tetapi uskup yang lima tahun ini berkarya di KAS menolaknya. Ia ingin cara hidup dan mati seperti umat kebanyakan. Itulah kenapa akhirnya beliau memutuskan selama dua bulan terakhir dirawat intensif di RS St Elisabeth Semarang. Dokter sendiri telah memvonis sakit kanker sejak 1,5 tahun silam dan selama masa itulah proses pengobatan terus dilakukan termasuk juga dengan herbal.



Menurut Rektor Seminari TOR Sanjaya Romo Matheus Djoko Setya Prakosa Pr, seminggu terakhir sebenarnya kondisi uskup sudah membaik, bahkan pada kemarin lusa sempat meminta kembali ke tempat tinggalnya di keuskupan. Tapi hal itu tak berlangsung lama karena kondisinya kembali menurun hingga harus dirawat. 

''Hanya menengok sebentar pulang ke keuskupan itu yang terakhir beliau pulang menengok tempat yang ditinggalinya. Sepertinya sudah pertanda beliau akan pergi dan beliau pun ingin dirawat intensif di Ruang Anna 402 RS St Elisabeth seperti umat biasa tidak mau di ICU ataupun sampai pergi ke luar negeri,'' ujar Romo Djoko.

Hingga sehari sebelum meninggal dunia pada Selasa (10/10), romo uskup sudah menyampaikan kepada kerabat mengenai kondisinya yang semakin drop. Hal ini pun disampaikan kepada Romo Djoko yang hampir setiap malam selalu mendampingi dalam doa malamnya.

''Beliau menyampaikan <I>aku wes ra iso opo-opo<P>. Saya terus menyemangati tetapi selanjutnya kami tidak bisa menangkap ucapannya diminta menulis apa maksudnya juga beliau tidak mau,'' paparnya.

Sampai menjelang tengah malam sebelum wafat, dokter juga para romo dan keluarga menyanyikan lagu Nderek Dewi Maria mengiringi kepergian uskup yang memiliki motto ''Duc In Altum'' (Lukas 5:4) itu dengan tenang. 

<B>Lintas Agama<P>
Ketua Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Pastor Aloys Budi Purnomo Pr mengisahkan pertemuannya sekitar 11 hari sebelumnya dimana uskup selalu tersenyum dan memberikan berkat. Dalam keadaan sakit, uskup juga meminta agar persaudaraan sejati bisa dibangun dan diwujudkan secara nyata khususnya dalam hal hubungan antarumat beragama.

''Beliau tidak pernah mengeluh dalam sakitnya dan apa yang dilakukannya sangat memperhatikan kepentingan orang miskin dan persaudaraan sejati,'' kata romo Budi.

Sebelumnya, pada 15 Oktober lalu, romo uskup yang juga menjadi Sekjen Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) tersebut sudah menerima Sakramen Perminyakan dari tangan Kardinal Julius Darmaatmadja SJ. 

Dalam kondisi kurang sehat, romo yang mendapatkan gelar doktor teologi spiritual saat studi di Universitas St. Thomas Aquinas Roma Italia itu juga masih berkenan untuk memberkati patung Bunda Maria setinggi 42 meter di Goa Maria Kerep Ambarawa Kabupaten Semarang pada 15 Agustus lalu. Patung tertinggi di Asia Tenggara itu diharapkan jadi simbol perdamaian antarmanusia di bumi.

''Meski sakit beliau berjuang dan bertahan memberikan kesaksian. Semangatnya luar biasa. KAS tentu sangat kehilangan tapi kita semua bersyukur atas karyanya selama ini serta kedekatannya dengan kaum papa miskin,'' ujar Romo Aloys Budi, Ketua Komisi Hubungan Antar Agama KAS.

Dalam persemayaman terakhirnya di Gereja Katedral Semarang pun ribuan umat datang silih berganti memberikan penghormatan terakhir. Tak kenal usia, kalangan atau bahkan umat beragama lain pun ikut berbaris rapi menuju peti jenasah uskup yang ditutup kaca untuk mendoakannya. Tak terkecuali Margaretha Sihmahargyani (40) warga MT Haryono Semarang yang menjadi mualaf sejak tahun 1997 tampak khusyuk berdoa di samping peti jenasah.

''Romo adalah orang baik yang selalu merangkul semua komunitas dan lintas agama. Meski saya dan suami muslim tapi anak saya menganut Katolik dan kami mengajarkan toleransi beragam di keluarga. Beliau sangat ramah dan menjadi teladan kami dalam kehidupan beragama, semoga akan ada romo lain seperti romo uskup yang bisa merangkul semua agama menjadi lebih harmonis,'' imbuhnya. 

Umat masih bisa memberikan penghormatan terakhir di Gereja Katedral Semarang hari Kamis (12/11) pagi ini karena jenasah akan diberangkatkan ke Seminari Tinggi Kentungan Yogyakarta setelah dilakukan ibadat pemberangkatan pagi pada pukul 08.00 WIB. Direncanakan hari Jumat (13/11), romo uskup akan dimakamkan di kompleks makam projo yang berada di seminari tinggi tersebut pada pukul 10.00 WIB. (Modesta Fiska- www.suaramerdeka.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar